PENDAHULUAN
Forensik Komputer merupakan penggunaan sekumpulan prosedur untuk melakukan pengujian secara menyeluruh suatu sistem komputer dengan mempergunakan software dan tool untuk mengekstrak dan memelihara barang bukti tindakan kriminal.
Tujuan dari Forensik komputer adalah mendapatkan fakta-fakta obyektif dari sebuah insiden/pelanggaran keamanan sistem sinformasi. Fakta-fakta tersebut setelah diverifikasi akan menjadi bukti-bukti (evidence) yang akan digunakan dalam proses hukum selanjutnya.
Empat Elemen Kunci Forensik dalam Teknologi Informasi Adanya empat elemen kunci forensik dalam teknologi informasi adalah sebagai berikut :
- Identifikasi dari Bukti Digital
Merupakan tahapan paling awal forensik dalam teknologi informasi. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi di mana bukti itu berada, di mana bukti itu disimpan, dan bagaimana penyimpanannya untuk mempermudah tahapan selanjutnya. Banyak pihak yang mempercayai bahwa forensik di bidang teknologi informasi itu merupakan forensik pada komputer. Sebenarnya forensik bidang teknologi informasi sangat luas, bisa pada telepon seluler, kamera digital, smart cards, dan sebagainya. Memang banyak kasus kejahatan di bidang teknologi informasi itu berbasiskan komputer. Tetapi perlu diingat, bahwa teknologi informasi tidak hanya komputer/internet.
- Penyimpanan Bukti Digital
Termasuk tahapan yang paling kritis dalam forensik. Pada tahapan ini, bukti digital dapat saja hilang karena penyimpanannya yang kurang baik. Penyimpanan ini lebih menekankan bahwa bukti digital pada saat ditemukan akan tetap tidak berubah baik bentuk, isi, makna, dan sebagainya dalam jangka waktu yang lama. Ini adalah konsep ideal dari penyimpanan bukti digital.
- Analisa Bukti Digital
Pengambilan, pemrosesan, dan interpretasi dari bukti digital merupakan bagian penting dalam analisa bukti digital. Setelah diambil dari tempat asalnya, bukti tersebut harus diproses sebelum diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan. Tentunya pemrosesan di sini memerlukan beberapa skema tergantung dari masing-masing kasus yang dihadapi.
- Presentasi Bukti Digital
Adalah proses persidangan di mana bukti digital akan diuji otentifikasi dan korelasi dengan kasus yang ada. Presentasi di sini berupa penunjukan bukti digital yang berhubungan dengan kasus yang disidangkan. Karena proses penyidikan sampai dengan proses persidangan memakan waktu yang cukup lama, maka sedapat mungkin bukti digital masih asli dan sama pada saat diidentifikasi oleh investigator untuk pertama kalinya.
Jika ditelusuri lebih jauh, forensik itu sendiri merupakan suatu pekerjaan identifikasi sampai dengan muncul hipotesa yang teratur menurut urutan waktu. Sangat tidak mungkin forensik dimulai dengan munculnya hipotesa tanpa ada penelitian yang mendalam dari bukti-bukti yang ada. Investigator harus mampu menyaring informasi dari bukti yang ada tetapi tanpa merubah keaslian bukti tersebut. Adanya dua istilah dalam manajemen (barang) bukti antara lain the chain of custody dan rules of evidence, jelas akan membantu investigator dalam mengungkap suatu kasus.
Satu hal terpenting yang perlu dilakukan investigator untuk melindungi bukti adalah the chain of custody. Maksud istilah tersebut adalah pemeliharaan dengan meminimalisir kerusakan yang diakibatkan karena investigasi. Barang bukti harus benar-benar asli atau jika sudah tersentuh investigator, pesan-pesan yang ditimbulkan dari bukti tersebut tidak hilang. Tujuan dari the chain of custody adalah :
1. Bukti itu benar-benar masih asli/orisinil
2. Pada saat persidangan, bukti masih bisa dikatakan seperti pada saat ditemukan (biasanya jarak antara penyidikan dan persidangan relatif lama).
- Barang Bukti atau Rules of Evidence
Arti istilah ini adalah barang bukti harus memiliki hubungan yang relevan dengan kasus yang ada. Dalam rules of evidence, terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain :
1. Dapat Diterima (Admissible)
Harus mampu diterima dan digunakan demi hukum, mulai dari kepentingan penyidikan sampai dengan kepentingan pengadilan.
2. Asli (Authentic)
Bukti tersebut harus berhubungan dengan kejadian/kasus yang terjadi dan bukan rekayasa.
3. Lengkap (Complete)
Bukti bisa dikatakan bagus dan lengkap jika di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu proses investigasi.
- Dapat Dipercaya (Believable & Reliable)
Bukti dapat mengatakan hal yang terjadi di belakangnya. Jika bukti tersebut dapat dipercaya, maka proses investigasi akan lebih mudah. Walau relatif, dapat dipercaya ini merupakan suatu keharusan dalam penanganan perkara.
- Metodologi Forensik Teknologi Informasi
Metodologi yang digunakan dalam menginvestigasi kejahatan dalam teknologi informasi dibagi menjadi dua :
1. Search & Seizure
Investigator harus terjun langsung ke dalam kasus yang dihadapi, dalam hal ini kasus teknologi informasi. Diharapkan investigator mampu mengidentifikasi, menganalisa, dan memproses bukti yang berupa fisik. Investigator juga berwenang untuk melakukan penyitaan terhadap bukti yang dapat membantu proses penyidikan, tentunya di bawah koridor hukum yang berlaku.
Tahapan dalam search dan seizure ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Identifikasi dan penelitian permasalahan
Dalam hal ini identifikasi adalah identifikasi permasalahan yang sedang dihadapi, apakah memerlukan respon yang cepat atau tidak. Jika tidak, maka dilanjutkan dalam penelitian permasalahan secara mendalam.
Pembuatan hipotesa setelah melalui proses identifikasi dan penelitian permasalahan yang timbul, sehingga data yang didapat selama kedua proses di atas dapat dihasilkan hipotesa.
- Uji hipotesa secara konsep dan empiris
Hipotesa diuji secara konsep dan empiris, apakah hipotesa itu sudah dapat dijadikan kesimpulan atau tidak.
- Evaluasi hipotesa berdasarkan hasil pengujian dan pengujian ulang jika hipotesa tersebut jauh dari apa yang diharapkan
- Evaluasi hipotesa terhadap dampak yang lain jika hipotesa tersebut dapat diterima.
Tahapan-tahapan di atas bukan merupakan tahapan yang baku, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Kondisi keadaan yang berubah-ubah memaksa investigator lebih cermat mengamati data sehingga ipotesa yang diambil tidak jauh dari kesimpulan akhir. Search dan seizure sendiri meliputi pemulihan dan pemrosesan dari bukti komputer secara fisik. Walaupun banyak hal yang positif, metode ini juga memberikan penekanan dan batas-batas untuk investigator agar hipotesa yang dihasilkan sangat akurat.
2. Pencarian informasi
Metode pencarian informasi yang dilakukan oleh investigator merupakan pencarian bukti tambahan dengan mengandalkan saksi baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dengan kasus ini. Pencarian informasi didukung bukti yang sudah ada menjadikan hipotesa yang diambil semakin akurat. Beberapa tahapan dalam pencarian informasi khususnya dalam bidang teknologi informasi :
- § Menemukan lokasi tempat kejadian perkara
- § Investigator menggali informasi dari aktivitas yang tercatat dalam log di komputer
- § Penyitaan media penyimpanan data (data storages) yang dianggap dapat membantu proses penyidikan
· Definisi Informasi Elektronik
Pasal 1 UU ITE mencantumkan diantaranya definisi Informasi Elektronik.
Berikut kutipannya :”Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna diantaranya :
- Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
- Informasi Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
- Informasi Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.
jadi, informasi elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan arti. Mengapa informasi elektronik tidak didefinisikan saja sebagai satu atau sekumpulan data elektronik? Mengapa perlu pula dinyatakan wujudnya dan memiliki arti?Informasi Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan bersifat tersembunyi. Informasi Elektronik dapat dikenali dan dibuktikan keberadaannya dari wujud dan arti dari Informasi Elektronik.
HUBUNGAN PENYADAPAN DENGAN IT FORENSIK DAN UU ITE
Kriminalitas pada abad 21 semakin meningkat dan semakin canggih peralatannya sehingga menimbulkan dampak luar biasa terhadap kesejahteraan bangsa-bangsa. Ancaman dunia kejahatan (underworld) terbukti telah banyak memakan korban manusia dan negara. Hal ini karena, menurut perkiraan, harta kekayaan organisasi kejahatan tersebut mencapai tiga kali lipat APBN negara berkembang. Kecanggihan organisasi dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan kejahatan lintas negara memperkuat posisi tawar mereka dengan aparatur penegak hukum yang ada. Untuk itu, para penegak hukum tentu tak boleh kalah canggih dari organisasi-organisasi kejahatan.
Salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping). Kedua teknik tersebut terbukti merupakan teknik yang andal dalam membongkar tuntas organisasi kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditangkap. Kedua teknik tersebut lazimnya hanya ditujukan terhadap mereka yang telah memiliki “track record” yang buruk di kepolisian.
Terhadap mereka yang masih “bersih” dari arsip kepolisian, sudah tentu penggunaan kedua teknik itu wajib dipertanggungjawabkan di muka sidang pengadilan. Berangkat dari masalah ini dan menguatnya perjuangan hak asasi manusia, maka penerapan kedua teknik tersebut dihadapkan kepada prinsip due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.
Penggunaan keduanya harus memperoleh izin pengadilan atau atas perintah pengadilan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu dan mendesak izin atau perintah pengadilan tidak diperlukan, hanya dilaporkan seketika setelah dilaksanakan. Penyadapan hampir di seluruh negara, termasuk di Indonesia, hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang penyadapan.
Sekalipun bentuk hukum tentang penyadapan adalah suatu RPP, akan tetapi RPP tersebut merupakan perintah UU ITE (Pasal 32) dan merupakan bagian tidak terpisahkan pemberlakuannya dengan UU ITE.
Di antara materi muatan yang penting antara lain tata cara penyadapan, jangka waktu, siapa objek tersadapnya, pertanggungjawaban penyalahgunaan penyadapan, serta siapa yang mengawasi proses penyadapan tersebut.
PEMBAHASAN
Legalitas Penyadapan
“Penyadapan hampir di seluruh negara, termasuk di Indonesia, hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang penyadapan“.
Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan telekomunikasi diatur Pasal 40, sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang” dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum mengaturnya sama sekali.
Pasal 31 UU ITE:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau PENGHENTIAN Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan UU Telekomunikasi, penyadapan adalah perbuatan pidana. Secara eksplisit ketentuan Pasal 40 undang-undang a quo menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (Pasal 28F UUD 1945). Demikian pula Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, tiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dari sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya (lex specialis derogat legi generali).
Dewasa ini, dalam sejumlah undang-undang di Indonesia, penyidik diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada empat undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang KPK. Bila dicermati, ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan ada perbedaan prinsip antara satu dengan undang-undang lainnya.
UU Psikotropika dan UU Narkotika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan harus dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30 hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.
Berbeda dengan kedua undang-undang itu, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.
Bandingkan dengan UU KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Ke depan, prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal.
Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.
Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.
Contoh Kasus :
Penyadapan percakapan kasus korupsi melalui media telepon antara Urip Tri Gunawan dan Artalyta.
Terdakwa Urip Tri Gunawan mencoba bersiasat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetapi Urip sedang dihadapkan pada teknologi terbaik dalam forensik suara. Saksi ahli kasus ini, pakar akustik Institut Teknologi Bandung, Joko Sarwono, memutar rekaman pembicaraan terdakwa kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia itu dengan Artalyta. Inilah pertama kalinya metode akustik dipakai untuk mendukung alat bukti di pengadilan Indonesia yaitu berupa sadapan percakapan telepon Urip dan Artalyta. Jaksa mengantongi call detail record (CDR) dari telepon kedua tersangka.
Dilihat dari pemanfaatan teknik forensik suara ini merupakan langkah penting dalam pengadilan di Indonesia. Memang, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan informasi elektronik—termasuk suara hasil penyadapan—merupakan alat bukti hukum yang sah. Yang menjadi soal, tanpa metode pembuktian yang sahih, fakta hukum ini gampang disanggah. Komisi Pemberantasan Korupsi berinisiatif memakai teknik forensik untuk menunjukkan suara di telepon itu milik Urip dan Artalyta. Komisi ini meminta para ahli akustik Institut Teknologi Bandung turun tangan. Akhirnya, ditunjuklah Joko Sarwono dan rekan-rekannya di Grup Riset Teknik Fisika.
Untuk memastikan suara di telepon itu milik Urip, Joko dan sejawatnya membandingkan suara tersebut dengan suara yang sudah diketahui sebagai suara dia. Suara pembanding ini di antarany rekaman suara Urip saat ia diperiksa tim penyidik. Sebenarnya ada dua metode yang bisa dipakai untuk menentukan jati diri pemilik suara di telepon: metode subyektif dan obyektif. Pada metode subyektif, penilaian dilakukan oleh sejumlah responden. Dalam hal ini, responden bertugas menilai kemiripan suara di telepon dengan suara pembanding. Dan teknik penilaian secara subyektif sangat dihindari. Ini bukan berarti metode tersebut tak bisa dipakai. Jepang dan beberapa negara di Eropa biasa memakai penilaian subyektif ini dalam forensik suara. Memang, akurasi metode ini bergantung pada jumlah sampel suara yang tersedia.
Menyadari kelemahan metode subyektif, Para Ahli memilih metode obyektif yang disebut source filter model untuk memastikan suara Urip di telepon itu. Ini metode pemeriksaan suara yang menggabungkan hasil pengamatan atas produksi suara dan persepsinya. Mula-mula, tim tersebut mengumpulkan kata-kata Urip yang bisa dibandingkan dengan suara di telepon yang akan diperiksa. Proses ini yang paling memakan waktu. Basis pembandingnya adalah kutipan kata yang sama. Misalnya, kata ”saya” tidak akan masuk data penelitian jika hanya terucap sekali. Tapi, kalau misalnya terucap 10 kali, kata itu menjadi calon untuk pembanding. Setelah bekerja beberapa pekan, terkumpulah 15 kata yang bisa dibandingkan.
Dengan peranti lunak khusus, kata-kata itu dianalisis di komputer. Nama peranti lunaknya Praat, buatan kelompok riset linguistik Belanda, yang bisa diunduh gratis di http://www.praat.org. Meski gratis, peranti ini canggih. Praat bisa menganalisis secara akurat karakter suara, gaya bicara, baik asli maupun setelah ”tersaring”, serta spektrum dan intensitas suara obyek yang dipindai. Semua kalkulasi itu berjalan otomatis. Akan tetapi prosesnya tak sesederhana seperti yang terlihat di film-film—berupa perbandingan kurva-kurva suara di layar komputer. Voice print—nama untuk kurva-kurva itu—hanya salah satu parameter dalam metode ini. Harus dilihat lebih ke dalam, sampai ke karakteristik apa saja yang terkandung di dalam suara itu. Pada metode ini, dua suara sudah disebut identik jika tingkat kesesuaiannya di atas 90 persen. Ini akibat suara yang gampang sekali berubah-ubah, tergantung kondisi saat suara direkam. Pada kasus Urip, misalnya, suara yang dianalisis adalah suara di telepon, sedangkan pembandingnya rekaman suara dalam ruangan. Bahkan suara sudah bisa berubah cuma oleh serangan flu. Dengan memperhatikan faktor-faktor itu, tentu saja akurasi mendekati 100 persen sulit diperoleh.
Para Ahli mengakui penilaian dalam analisis suara itu baru mengacu pada kesepakatan-kesepakatan di antara para ahli yang menjadi sejawatnya. Padahal, di Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat, penilaian untuk metode itu sudah baku, mengacu pada standar yang dikeluarkan asosiasi forensik suara. Asosiasi ini menginduk pada International Association of Forensic Linguists. Teknik forensik atas suara Urip-Artalyta tetap sahih. Karena mengacu pada standar operasi yang sudah berlaku di Amerika. Selain itu, penilaian diperoleh dengan metode obyektif, Sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara akademik
Ditemukannya beberapa tersangka terkait dugaan korupsi pada kasus diatas tidak dapat dilepaskan dari efektifnya upaya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada satu cara menarik yang dilakukan KPK dalam usahanya menangkap basah tersangka koruptor. Cara itu adalah penyadapan. Tim penyidik KPK menggunakan pemanfaatan teknik forensik dengan melakukan pamasangan alat penyadap pada alat komunikasi milik orang yang diduga melakukan tindakan korupsi. Hasil rekaman pembicaraan yang membuktikan adanya transaksi korupsi merupakan suatu bukti kuat untuk menyeretnya sebagai tersangka tindak pidana korupsi.
Fakta menunjukkan cara terse but cukup berhasil membuat para tersangka korusi tidak berkutik saat disergap (ditangkap). Dengan tertangkapnya jaksa Urip atas kasus penyuapan oleh Ny Arthalita (Ayin) sangat terbantu alat penyadap. Penggunaan alat penyadap terbukti sangat mendukung investigasi tim KPK. Namun di lain pihak banyak pendapat menyebutkan tindakan penyadapan itu sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Alasannya, adanya alat sadap menyebabkan orang merasa tidak aman dan tidak dilindungi hak privasinya.
KESIMPULAN
Menyadap pembicaraan orang adalah tindakan ilegal. Artinya, aktivitas penyadapan telepon di manapun tidak dibenarkan. Sampai saat ini pun, kegiatan penyadapan untuk proses penyidikan tidak dapat dilakukan sembarangan. Perlu dilengkapi dengan bukti yang cukup sampai sebuah lembaga boleh melakukan tindakan penyadapan. Namun di lain sisi, dari sudut konstitusi, menyadap telepon dapat menjadi cara yang legal dan sangat efektif untuk mengetahui sebuah informasi yang sangat rahasia. Sehingga terkadang proses penyadapan dibenarkan. Khususnya untuk membantu proses penyelidikan pada kasus yang sangat berbahaya/besar guna mengungkap suatu kejahatan.